Friday, July 16, 2010

Orang Miskin dan Rumah Sakit

Sungguh ironis keadaan di Indonesia terutama menyangkut kesehatan. banyak ditulis di media cetak dan elektronik, kasus ditolaknya pasien miskin oleh rumah sakit untuk berobat, bahkan untuk melahirkan. walhasil, banyak dari pasien miskin tersebut akhirnya bertambah berat sakitnya bahkan ada yang meninggal. Pihak rumah sakit terlebih dahulu menanyakan kesanggupan calon pasien untuk membayar tagihan. hal seperti ini tidak pantas, karena menyepelekan nyawa manusia. Bila si calon pasien dirasa tidak mampu untuk membayar, maka pihak rumah sakit tidak segan-segan untuk menolaknya. Ada juga kasus lain, seorang bayi ditahan oleh pihak rumah sakit karena orangtuanya tidak mampu membayar biaya persalinan.


Kami hendak bercerita kisah kami berurusan dengan pihak rumah sakit. Pada masa kehamilan anak pertama, Asty memeriksakan diri di Community Health Center (CHC). tempat ini ibarat puskesmas kota. namun semua peralatannya lengkap, manajemennya bagus, dan dokter-dokternya berasal dari Rumah sakit ternama. karena Asty tidak termasuk dalam daftar asuransi, maka kami meminta keringanan pembayaran saat pendafataran. Besarnya keringanan bergantung pada besarnya penghasilan. Selain mendapat keringanan potongan biaya, kami mendapat keringanan untuk mengangsur yang jumlah angsurannya bisa kita diskusikan dengan pihak CHC.

Setelah memasuki pengajuan asuransi untuk periode yang baru, Asty berpindah ke Middlesex Hospital. Hal ini dikarenakan CHC menyarankan pasien yang mempunyai asuransi untuk pindah ke rumah sakit. Setelah urusan administrasi selesai di Middlesex Hospital Family Practice, Asty rutin memeriksakan kehamilannya. Tidak ketinggalan cek USG (Ultrasonography) untuk mengetahui keadaan janin dan rahim. Namun, ongkos USG ini tidak ditanggung oleh asuransi. Ongkos USG ini terbagi 2 bagian. Ongkos operator dan dokternya dibayarkan ke pihak rumah sakit. Sedangkan ongkos bagian radiologi dibayarkan ke sebuah kantor khusus terpisah dari manajemen rumah sakit. Kami meminta keringanan untuk ongkos radiologi, dan kami memang termasuk dalam daftar penerima bantuan finansial, yang besarnya 50%.

Sampai tibalah saatnya Asty melahirkan. Kami mendapatkan kamar bersalin yang (menurut kami) sangat mewah. satu kamar hanya untuk satu pasien, lengkap dengan kamar mandi, lemari es kecil, televisi, dan sofa untuk tempat tidur suami/keluarga. makanannya pun enak-enak, dan kita bebas ambil makanan dan minuman yang tersedia di dapur. Saat kami keluar rumah sakit, mereka tidak menanyakan/memberikan tagihan yang harus dibayarkan.

Setelah beberapa minggu, tagihan itupun datang. Memang cukup besar, karena pihak asuransi ternyata tidak menanggung semuanya. Karena asuranasi yang kami pilih tidak menanggung keadaan sebelum klien tergabung dalam asuransi. dalam kasus ini, Asty hamil sebelum tergabung dalam asuransi. namun pihak rumah sakit memberikan kesempatan bagi kami untuk mengajukan permohonan bantuan finansial. Setelah mengisi formulir dan menyerahkan berkas-berkas, mereka menyetujui untuk memberikan bantuan finansial sebesar 85%. Suatu jumlah yang sangat besar bagi kami. Namun, tidak hanya itu, mereka juga menawarkan pembayaran dilakukan dengan mengangsur dan kami diberikan kebebasan mengatur jumlah angsuran. Saat itu, kami memutuskan untuk mengangsur sebanyak lima kali.

Bahkan untuk tagihan terbaru yang kami terima, kami menerima bantuan finansial sebesar 100%. Yang artinya, kami tidak membayar satu sen pun. Mungkin dalam pengajuan bantunan finansial kali ini kami menyertakan daftar isian pajak. Selain itu, jumlah anggota keluarga kami bertambah menjadi 3 orang dengan kehadiran Kirana, putri kami.

No comments: